Thursday, June 9, 2011

Wah, Kasus Kekerasan terhadap Jurnalis Meningkat!

Sabtu siang lalu (4/6), sinar matahari bersinar dengan terik, membuat Yogyakarta terasa ‘mendidih’. Tetapi itu tidak membuat para jurnalis di Yogyakarta enggan datang ke kantor AJI Yogyakarta untuk mengikuti diskusi bersama Direktur LBH Pers, Hendrayana. Temanya menarik, strategi advokasi (litigasi dan non litigasi) dan hak-hak hukum pekerja media. Lumayan, lebih dari 20 jurnalis antusias mengikuti uraian Hendrayana.

“Saya ingin sinau soal litigasi dan non litigasi,” ujar Ulum, salah seorang redaktur di Harian Jogja.

Selain membicarakan soal topik di atas, pria Sunda ini juga menyinggung banyak persoalan sekitar jurnalisme di Indonesia. Salah satunya adalah meningkatnya angka kasus kekerasan terhadap jurnalis.

“Jika tahun 2010 ada 67 kasus, sekarang (hingga Juni 2011) sudah ada 37 kasus,” ujar Hendrayana. Ini artinya, hingga pertengahan tahun 2011, jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis sudah lebih dari 50 persen dari tahun sebelumnya.

Lebih lanjut, pria berkulit putih itu mengingatkan ada kecenderungan tindak kekerasan terhadap jurnalis meningkat pada masa pelaksanaan pemilu di daerah. Biasanya pelakunya adalah para preman pendukung calon pemimpin daerah yang ikut dalam kontestasi politik itu.

Sebuah perkembangan yang memprihatinkan. Kita tentu ingat, tahun lalu terjadi pula pembunuhan terhadap Ridwan salamun, jurnalis SUN TV di Maluku. Ironisnya, pengadilan justru membebaskan terdakwa. Jika demikian, siapa yang menjadi pelakunya?

Sedangkan tahun ini, kawan-kawan AJI Palu dipukuli oleh sekelompok pemuda yang tidak puas atas pemuatan berita kasus kekerasan yang terjadi setelah pemilihan ketua sebuah organisasi pemuda.

Para peserta diskusi, dengan penuh perhatian mengikuti pemaparan Hendrayana yang memakan waktu hampir satu jam. Tak hanya jurnalis dari Yogyakarta, beberapa datang dari Surakarta. Mereka duduk lesehan di ruang utama kantor AJI Yogyakarta. Penganan seperti lumpia dan roti basah menemani diskusi yang hangat ini.

Secara garis besar, Hendrayana menjelaskan ada dua jalur dalam melakukan advokasi bagi kasus sengketa pers, yaitu jalur litigasi dan non litigasi. Sengketa pers adalah sengketa yang muncul akibat pemberitaan di media massa.

Jalur non litigasi adalah penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan. Opsi yang dapat digunakan bagi mereka yang tidak puas dengan berita di media massa adalah, hak jawab, hak koreksi, pengaduan ke organisasi profesi dan pengaduan ke Dewan Pers.

Sementara jalur litigasi ada dua macam yaitu mediasi melalui pengadilan dan mediasi di luar pengadilan. “Dalam memilih mediator, yang harus diperhatikan adalah hakim atau non hakim yang mengetahui persoalan pers,” tandas Hendrayana.

Dalam kesempatan itu, Hendrayana yang kegerahan karena cuaca Yogya yang panas juga memberikan ‘tips’ agar para jurnalis terhindari kasus jeratan hukum. Dalam membuat berita, jurnalis harus melakukan cover bothsides, sumber berita harus jelas dan kredibel, tidak mencampur opini dan fakta, berita dibuat untk kepentingan umum dan jika ada kekeliuran segera meralatnya tanpa harus diminta pihak yang dirugikan.

Apa yang harus dilakukan jurnalis jikan terjerat kasus hukum? Memberitahukannya kepada pemimpin redaksi, buat kronologi kasus, kumpulkan

Bahan-bahan berita yang dipersoalakan (rekaman, data-data sumber berita, berita sama yang dimuat di media massa lain) dan siapkan saksi yang meringankan.

Selain itu, Hendrayana juga menjelaskan apa yang harus dilakukan jurnalis jika dipanggil polisi sebagai saksi:periksa surat panggilan secara teliti, untuk perkara apa?, beritahukan ke pemimpin redaksi, siapkan seluruh dokumen terkait, gunakan hak tolak jika diminta menyebutkan narasumber, minta kepada penyidik untuk minta penilaian dari Dewan Pers terhadap berita yang dipersoalkan.

Saat sesi tanya jawab, ada sekira delapan peserta yang mengajukan pertanyaan atau tanggapan. Sampai-sampai moderator, Mustakim harus ‘menutup’ sesi tanya-jawab karena waktu tidak mengijinkan lagi. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 17.30. Tidak terasa diskusi sudah berlangsung sekira dua jam lebih.

“Silakan dilanjutkan lagi setelah diskusi ini resmi ditutup,” ujar Mustakim.

Usai diskusi, Hendrayana melayani interview dari beberapa kawan jurnalis. Saat malam menjelang, beberapa kawan melanjutkan diskusi di café semesta di bilangan Kota Baru. Tentu saja dengan ditemani hitamnya kopi panas. Semoga kekerasan terhadap jurnalis tidak terjadi lagi. (foto dan teks: bambang muryanto)

Thursday, June 2, 2011

“Oleh-oleh” dari Sosialisasi Standar Kompetensi Wartawan

Puluhan jurnalis Yogyakarta berkumpul di sebuah ruang pertemuan di lantai lima, Hotel Saphir, Yogyakarta, Rabu pagi (1/6). Mereka mengikuti acara sosialisasi Standar Kompetensi Wartawan yang diadakan Dewan Pers. Ya, Dewan Pers sudah mengeluarkan peraturan Dewan Pers No.1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan. Dengan peraturan ini, semua jurnalis di Indonesia harus mengikuti uji kompetensi yang dilakukan oleh lembaga yang sudah diverifikasi oleh Dewan Pers.

Menurut Dewan Pers, standar kompetensi wartawan adalah sarana untuk menciptakan jurnalis atau wartawan profesional. Ini penting karena hanya wartawan yang profesional saja yang mampu memproduksi berita yang bagus untuk masyarakat.

Acara molor dari jadwal seharusnya, pukul 8.30. Sambil menunggu, saya bertegur sapa dengan kawan-kawan jurnalis lainnya. Saat duduk dan menikmati kopi, ingatan saya melayang belasan tahun ke belakang. Saat itu saya masih bekerja sebagai reporter sebuah koran lokal di Yogyakarta.

Dalam rapat redaksi pagi, redaktur menugaskan kawan saya untuk melakukan investigasi sebuah praktek pijat plus ilegal di sebuah hotel berbintang. Wah, sebuah tugas yang menarik! Maka dengan ‘semangat 45’, sang kawan yang juga diberi sangu untuk mencicipi pijat plus itu (sungguh beruntungnya dia!) berangkat melakukan investigasi. Dalam benak saya, besok pagi saya akan membaca hasil reportasenya yang bagus dan menarik.

Esok hari, ketika membuka lembar demi lembar koran dimana saya bekerja, saya tidak menemukan berita itu. Rasa penasaran berkecamuk di kepala, mengapa tidak ada beritanya? Ketika bertemu dengan kawan saya yang mendapat tugas untuk itu, saya bertanya mengapa berita soal praktek pijat plus di hotel berbintang itu tidak ada. Jawabannya sungguh membuat saya tercengang. “Mbang, beritanya tidak boleh dimuat karena sang pemilik hotel pernah memberi sumbangan semen untuk pembangunan rumah milik pemimpin redaksi.”

Kawan, ini jelas sebuah pelanggaran kode etik jurnalistik. Media massa tidak bisa bersikap independen. Tetapi memang begitulah kenyataan di lapangan. Para jurnalis di Indonesia mudah melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik, mulai dari copy paste, terima amplop, tidak melakukan verifikasi, nara sumber yang tidak tepat dan masih banyak lainnya. Tak heran jika pengajar jurusan komunikasi, Fisipol UGM, Wisnumartha dalam sebuah diskusi di Kedai Kebun, Yogyakarta mengatakan jurnalisme di Indonesia sedang mengalami kebangkrutan!

Kini, Dewan Pers mencoba menghapus potret parktik jurnalisme buruk itu. Ada tiga anggota Dewan Pers yang menjelaskan tentang pentingnya persoalan ini dalam acara itu, yaitu Agus Sudibyo, Muhammad Ridlo ‘Eisy dan Wina Armada Sukardi. Adapun sebagai moderator adalah Octo Lampito, pemimpin redaksi Kedaulatan Rakyat.

Agus, Wakil Direktur Yayasan SET dan mantan reporter Radar Jogja menjelaskan latar belakang mengapa Dewan Pers mempunyai kebijakan untuk menyertifikasi wartawan. Pertama ada upaya dari negera untuk melisensi kompetensi jurnalis. Menurutnya ini ide yang tidak baik karena selayaknya – dalam tatanan politik yang demokratis -- masyarakat pers sendiri yang berhak mengatur dirinya dan bukan negara.

Kedua, ada begitu banyak pelanggaran kode etik yang dilakukan para jurnalis. Menurut catatan Agus Sudibyo yang duduk sebagai ketua komisi pengaduan masyarakat dan penegakkan etika di Dewan Pers, sepanjang tahun 2010 ada 512 pengaduan. “Delapan puluh persen adalah karena pelanggaran kode etik. Ini tinggi sekali, “ tandas pria asal Blitar ini.

Ada banyak macam pelanggaran kode etik jurnalistik, misalnya berita yang tidak berimbang, berpihak, tidak ada verifikasi, mencampurkan antara opini dan fakta, data tidak akurat, dan sumber berita tidak kredibel. Sedangkan pelanggaran saat melakukan peliputan misalnya, jurnalis tidak melakukan wawancara langsung, tidak bisa memberikan bukti wawancara, melanggar privasi orang, tidak dapat menunjukkan identitas diri dan identitas waktu wawancara berbeda dengan identitas penulis berita.

Diujung presentasinya, pria yang produktif menulis untuk media massa ini mengingatkan bahwa bisnis media sangat tergantung kepada kepercayaan publik.Hal ini harus dijaga dengan meningkatkan kualitas jurnalisme. Pada saat yang sama media massa juga menghadapi tantangan berupa menurunnya kepercayaan publik, stagnasi daya beli masyarakat, sosial media, dan new media.

Ada urgensi untuk menstandarkan kelayakan media dan kompetensi jurnalis,” ujar Agus.

Sementara itu Ridlo ‘Eisy berbicara dari perspektif perusahaan media. Ia mengatakan sekaya apa pun perusahaan media, hampir pasti akan bangkrut jika tidak punya wartawan yang berkualitas dan kompeten dibidangnya. Dalam catatan Dewan Pers, sudah ada lebih dari 1000 media cetak yang mengalami kebangkrutan sejak tahun 2002.

“Masyarakat langsung menghukum media massa yang tidak profesional,” tandas Ridlo. Saya masih ingat, inilah bentuk breidel yang alami dan tidak politis seperti di jaman Orde Baru yang suka membreidel media massa yang kritis terhadap kekuasaan Presiden Soeharto itu.

Wina Armada yang menjadi pembicara terakhir lebih banyak berbagi soal teknis dan bagaimana pelaksanaan standar kompetensi wartawan. Ada tiga jenjang kompetensi, yaitu wartawan muda, wartawan madya dan wartawan utama. Bila seorang wartawan sudah lolos sertifikasi menjadi wartawan utama maka ia dapat menjadi penanggung jawab sebuah media massa.

Dalam presentasinya, Wina banyak membuat lelucon sehingga para jurnalis tertawa. “Kita ingin santai saja,” saja ujarnya. Ia adalah satu-satunya pembicara yang membawakan makalahnya dengan berdiri. Ia berpakaian necis dan mengenakan dasi.

Sedangkan untuk lembaga yang berhak melakukan seritifikasi, Wina menyebutkan ada empat lembaga. Mereka adalah perusahaan pers, perguruan tinggi yang memiliki program studi komunikasi-jurnalistik, lembaga pendidikan wartawan dan organisasi wartawan. Namun syaratnya mereka harus lulus verifikasi dari Dewan Pers.

Hingga acara itu ditutup pada siang hari, tidak ada seorang jurnalis pun yang menyatakan penolakannya terhadap standarisasi kompetensi wartawan. Semoga memang demikian sebab ini adalah upaya serius untuk menegakkan martabat jurnalis sendiri. Para jurnalis harus mempunyai kompetensi. Seperti tertulis dalam buku berjudul “Standar Kompetensi Wartawan” terbitan Dewan Pers menyebutkan, pekerjaan wartawan sendiri sangat berhubungan dengan kepentingan publik karena wartawan adalah bidan sejarah, pengawal kebenaran dan keadilan, pemuka pendapat, pelindung hak-hak pribadi masyarakat, musuh penjahat kemanusiaan seperti koruptor dan politisi busuk.

Wuih…betapa mulianya pekerjaan jurnalis atau wartawan. Tetapi sekaligus ada beban berat yang harus diembannya. Ini adalah ‘oleh-oleh’ besar dari acara Dewan Pers, mengingatkan kembali peran dan fungsi strategis dari para pembawa pesan. Memang tidak mudah tetapi anyway, selamat berjuang kawan-kawan jurnalis! ( foto dan teks : bambang muryanto)

Tuesday, May 31, 2011

Menggugat Jurnalisme Musik di Media Mainstream

Senin malam (30/5), rencana saya untuk berkaraoke dengan kawan-kawan jurnalis gagal. Sebuah ajakan dari jurnalis Media Indonesia untuk diskusi tentang jurnalisme musik di Kedai Kebun begitu menggoda. Jurnalisme musik? Jujur saja ini adalah tema diskusi yang belum pernah saya ikuti. Akhirnya, kami bertiga meluncur ke Kedai Kebun di Jalan Tirtodipuran, sebuah wilayah asri yang saya sukai karena di sepanjang jalan itu penuh dengan rumah-rumah tua yang masih terpelihara dan indah.

Pada awalnya, saya tidak mengetahui siapa yang menjadi pembicara dalam diskusi ini. Kami tiba tepat saat diskusi mulai. Ruangan di lantai satu Kedai Kebun sudah penuh dengan peserta diskusi yang semuanya anak-anak muda. Tak ada lagi kursi yang tersisa bagi kami.

Sang moderator, Arief Nugroho aka Auf mulai membuka diskusi. Ternyata ini adalah sebuah diskusi untuk membedah buku berjudul “Like This”. Buku setebal 438 halaman ini adalah kumpulan tulisan terbaik yang pernah dibuat di situs www.jakartabeat.net (2009-2010), sebuah portal yang menampung tulisan-tulisan soal musik, buku, film dan politik. Melalui diskusi buku ini, mereka membincangkan soal jurnalisme musik dan relevansinya sebagai media kritik sosial.

Moderator memperkenalkan tiga narasumber yang sudah duduk di depan para peserta diskusi. Mereka adalah M. Taufiqurrahman, salah seorang co founder www.jakartabeat.net, yang lahir sejak jJanuari 2009, Risky Summerbee (musisi) dan Wisnumartha (ahli media). Dari tiga narasumber, saya hanya mengenal Wisnumartha, dia adalah dosen jurusan komunikasi, Fisipol UGM, kawan berdiskusi soal jurnalisme.

Sejak dari awal, diskusi ini justru tidak banyak menyinggung buku berjudul “Like This” itu. Auf, sebagai moderator sudah mengarahkan diskusi ini untuk mengkritik jurnalisme musik (penulisan berita soal musik) di media massa mainstream (baca:media komersial). “Tidak ada tulisan soal musik yang mendalam di media-media lokal,” ujarnya.

Dalam presentasinya, Taufiq yang juga pengisi kolom musik di harian The Jakarta Post menjelaskan tulisan soal musik yang bagus tidak mempunyai banyak tempat di media mainstream. Menurut pria yang belajar musik sembari belajar ilmu politik di Chichago, AS (Chichago adalah tempat yang subur bagi munculnya banyak musik) itu reportase media mainstream soal musik justru bias pada produk high art dan tidak memberikan tempat bagi pop culture.

“Media besar justru menunjukkan ini (musik) yang baik dan buruk,” ujarnya. Padahal musik apapun adalah sesuatu yang serius karena melibatkan proses berpikir.

Berangkat dari situasi yang seperti itu, ia kemudian mendirikan www.jakartabeat.net yang menampung tulisan soal musik. Baginya musik bukan hanya soal seni tetapi dapat menjadi medium untuk melakukan kritik sosial.

“Hanya dengan memahami bahwa musik bukan berada di ruang hampa kehidupan manusia sebenarnya kita sudah memberdayakan menulis musik sebagai kritik sosial dan fungsi ini menjadi semakin mudah jika memang musik itu sendiri memiliki kehendak untuk menjadi kritik sosial,” demikian ia menulis dalam makalahnya yang berjudul “Musik dan Riuh-Rendah Menjadi Manusia”.

Taufiq yang malam itu mengenakan kemeja kotak-kotak mengatakan situsnya tak hendak menulis musik dengan sangat serius, seperti dengan menggunakan culture studie sebagai pisau analisanya. Tetapi juga tidak ‘murahan’ dengan menulis siapa menghamili penyanyi ayu, Mulan Jameela yang kondang dengan lagu berjudul Wonder Woman itu. “Saya ingin ada di tengah-tengah,” tandasnya.

Sebagai pembicara selanjutnya, Wisnumartha mengatakan tidak semua media massa mainstream menyajikan tulisan soal musik dengan benar dan bagus. Salah satu pegiat Pusat Kajian Media dan Budaya Populer ini mengatakan, salah satu dari jeleknya tulisan soal musik di media massa karena jurnalisme di Indonesia saat ini sedang mengalami kebangkrutan.

Namun ia menyebutkan salah satu clue untuk menghasilkan reportase yang bagus: jika sang jurnalis juga suka terhadap musik. Apa yang dikatakan Wisnu ini mengingatkan peristiwa ketika saya bersama seorang kawan jurnalis meliput sebuah pertunjukkan musik punk di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) sepuluh tahunan yang lalu. Kawan saya yang biasa meliput seni tradisional ini mengaku tidak mengerti dengan berbagai sajian dan tingkah laku para musisi punk. “Mengapa isinya hanya misuh-misuh (mengumpat) saja. Ra cetho iki (enggak jelas ini),” gugatnya. Saya hanya menjawab dengan senyuman.

Nah jika dia dipaksa untuk menulisnya, mungkinkah muncul sebuah reportase yang bagus? Jawabannya tentu saja tidak. Wisnu mengatakan jika kita dapat menulis sesuai dengan kemampuan kita dan diramu dengan passion yang pas, pasti akan menjadi sebuah tulisan yang menarik.

Risky Summerbee yang mendapat giliran angkat bicara paling akhir mangatakan sebagai musisi, dia merasa kecewa ulasan berbagai media massa. Sebagai manusia tentu ia suka dipuji di media massa. “Tapi tolong tunjukkan jika bagus itu apanya dan kalau jelek juga apanya,” ujarnya.

Sebagai seorang musisi ia memang membutuhkan masukan dari pihak lain. Tetapi itu tidak harus datang dari para jurnalis, bisa siapa saja yang mengerti tentang musik.

Dalam berbagi diskusi soal jurnalisme di Indonesia, kritik tajam hampir pasti tertuju kepada media massa mainstream yang semakin jauh meninggalkan garis ideal sebagai sebuah lembaga kontrol. Dan kualitas jurnalisme musik yang buruk adalah salah satu akibatnya saja. Dalam soal liputan dengan tema lain pun sama saja.

Ada banyak persoalan, mulai dari kualitas jurnalisnya yang payah, ideologi media massa yang dangkal (sekedar hanya jualan berita saja) hingga literasi media dari masyarakat yang masih rendah. Ini ibarat sebuah benang kusut yang rumit untuk diurai.

Tetapi ini bukan alasan untuk pesimistis. Masih terbuka ruang untuk memperbaiki kualitas jurnalisme di Indonesia, minimal jika para jurnalisnya mau terus belajar dan belajar.

Dan forum seperti di Kedai Kebun malam itu adalah salah satu caranya. Sayang, acara ini (mungkin) minim publikasi. Hanya sedikit jurnalis yang datang. Jangan-jangan, mereka tahu tetapi tidak mau datang, ini yang berbahaya. Wacana yang berkembang dalam diskusi itu dapat menjadi masukan yang bagus. Atau bisa juga membeli bukunya, setidaknya dapat menjadi referensi bagaimana menulis yang bagus versi jakartabeat.net. (text: bambang muryanto)